BANDUNG, TEROPONGMEDIA.ID — Di Bandung, Jawa Barat, obat Alprazolam yang dibutuhkan BPJS sejak Agustus 2024 tiba-tiba hilang. Fenomena kelangkaan obat pada pasien BPJS bukanlah hal baru sehingga Ombudsman RI menyoroti permasalahan tersebut.
Sebagai informasi, Alprazolam yang dijual dengan merek Xanax merupakan obat psikotropika golongan IV yang biasa digunakan sebagai terapi gangguan kecemasan, serangan panik, dan depresi.
lembar kutipan Ombudsman Indonesia Kalimantan Selatan, pengalaman serupa dialami pasien BPJS Kesehatan di salah satu rumah sakit umum di Kalimantan Selatan. Pasien yang dirawat melalui BPJS melaporkan bahwa obat yang diresepkan dokter tidak tersedia di apotek rumah sakit.
Jadi pihak rumah sakit hanya memberikan kuitansi obatnya saja, kalau ada bisa mendapatkan obatnya, namun belum ada informasi pasti kapan obatnya tersedia, pasien harus aktif bertanya langsung ke bagian farmasi, karena ada. tidak ada layanan informasi/nomor kontak khusus bagian farmasi.
Bahkan salah satu petugas menyarankan pasien untuk menggunakan jalur pasien umum jika ingin mendapatkan obat (karena tidak ada obat yang ditanggung oleh BPJS, tetapi ada obat yang “paten”) sehingga mengakibatkan biaya kesehatan menjadi lebih tinggi. pelayanan pemeriksaan dan obat-obatan, pasien harus membayar secara mandiri (BPJS tidak dapat diklaim).
“Bayangkan bagaimana jadinya jika Anda berada di posisi pasien, seolah tidak ada jalan lain. Di satu sisi, jika dia bertahan keukeuh “Jika berobat melalui BPJS, pasien tidak akan langsung mendapat obatnya, artinya harus menunggu waktu yang belum ditentukan oleh apotek rumah sakit,” kata Zayanti Mandasari, SH, MH, Asisten Pelaporan Ombudsman RI. inspeksi Kalimantan Selatan, Rabu (4/9/2024) dikutip.
Sebaliknya, lanjutnya, jika memilih berobat sebagai pasien umum tentu harus mengeluarkan dana ganda, yang satu merupakan iuran bulanan peserta BPJS dan satu lagi merupakan biaya pelayanan pemeriksaan kesehatan dan obat-obatan. sebagai pasien umum.
“Dalam hal ini pasien lebih memilih menjadi pasien jalur umum karena membutuhkan pengobatan untuk menunjang upaya kesembuhannya saat itu,” kata Zayanti.
Jika dilihat sekilas, kata dia, fenomena kelangkaan obat pada pasien BPJS ini terlihat sangat aneh karena kalau berobat lewat jalur BPJS memang tidak ada obatnya, tapi kalau pasien umum ada obatnya.
Sebagaimana tercantum dalam Pasal 4 UU Nomor 4 jika dilihat dalam konteks pelayanan publik. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, kekurangan obat bagi pasien BPJS dapat dikatakan melanggar beberapa prinsip dasar dalam penyelenggaraan pelayanan publik, seperti Kesetaraan Hak, Kesetaraan Perlakuan/Non Diskriminasi, Transparansi dan Kenyamanan.
Hal ini bertentangan dengan prinsip persamaan hak dan persamaan perlakuan, tegasnya, karena jika pasien berobat dengan BPJS, tidak ada obatnya, tetapi ketika pasien menjadi pasien umum, ada obatnya.
“Hal ini menunjukkan pelayanan publik khususnya di bidang kesehatan bersifat ‘selektif’ dalam memberikan pelayanan, khususnya antara pasien BPJS dan pasien umum,” kata Zayanti.
Padahal, jelasnya, jika dikaitkan dengan komitmen Presiden dalam memberikan jaminan kesehatan sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 ayat 1. Asuransi Kesehatan Nomor 82 Tahun 2018 menegaskan bahwa asuransi kesehatan adalah jaminan perlindungan untuk memenuhi kebutuhan dasar kesehatan setiap orang yang menerima manfaat pelayanan kesehatan dan membayar premi Jaminan Kesehatan.
“Meskipun pasien di atas telah membayar iuran kepesertaan BPJS setiap bulannya, namun pasien tersebut belum menerima manfaat atau bahkan layanan asuransi kesehatan secara penuh sesuai haknya sebagai peserta BPJS kesehatan,” ujarnya.
Misalnya, jika obat yang ditanggung BPJS merupakan obat generik yang tidak tersedia, maka pasien bisa mendapatkan obat paten atau obat lain yang dapat membantu kesembuhan pasien. pengobatan umum, termasuk dalam ruangan yang sama.
Pasien tetap bisa mendapatkan obat, hal ini disebabkan oleh hak yang dimiliki pasien sebagai peserta BPJS dan kewajiban BPJS untuk memberikan pelayanan kesehatan melalui rumah sakit.
Zayanti mengatakan kekurangan obat untuk pasien BPJS tidak sesuai dengan ketentuan UU Nomor 1. 36 Tahun 2009 Tentang perawatan kesehatan.
Ia mencontohkan Pasal 36 ayat 1 yang berbunyi, “Pemerintah menjamin ketersediaan, distribusi, dan ketersediaan perbekalan kesehatan, terutama obat-obatan esensial.” Selain itu, ketersediaan dan aksesibilitas produk kesehatan berupa obat generik yang termasuk dalam daftar obat esensial nasional pada Pasal 40 ayat (6) harus terjamin.
Peraturan ini jelas menyatakan bahwa pemerintah akan menjamin ketersediaan obat generik. Namun obat-obatan tersebut di atas belum benar-benar tersedia bagi pasien BPJS jika obat BPJS adalah obat generik. Padahal, ketika seseorang berobat, tujuannya adalah untuk segera diperiksa dan diobati hingga sembuh.
Oleh karena itu, fenomena penerbitan kuitansi penerimaan apotek nantinya tidak sesuai dengan tujuan pemberian pelayanan kesehatan, karena dalam Pasal 53 ayat (1), pelayanan kesehatan perorangan ditujukan untuk menyembuhkan penyakit dan memulihkan kesehatan baik perseorangan maupun perseorangan. keluarga", - dia menekankan.
Zayanti mengatakan, kelangkaan obat di layanan kesehatan bukanlah sesuatu yang bisa disederhanakan karena berdampak pada kesehatan seseorang. Kami berharap seluruh penyelenggara layanan kesehatan baik di tingkat pusat maupun daerah mempunyai semangat memberikan pelayanan kesehatan yang akuntabel, aman, bermutu, adil dan tidak diskriminatif sesuai amanah. Dengan UU Pelayanan Kesehatan.
“Kami berharap Dinas Kesehatan terus berupaya memberikan pelayanan yang lebih baik, mudah, dan spesifik. Sehingga kita bisa terus berkontribusi bagi kesehatan Indonesia, tidak terhambat karena kekurangan obat,” tutupnya.
BACA JUGA: Alprazolam Langka! Penyandang gangguan jiwa yang ditanggung BPJS di Bandung tidak mendapat akses pengobatan selama satu bulan
Alfrazolam menghilang di Bandung
Berdasarkan pencarian teropongmedia.idDinas Kesehatan (Dinkes) Kota Bandung mendapat laporan dari BPJS Kesehatan Cabang Bandung mengenai adanya kekurangan Alprazolam.
Kepala Dinas Kesehatan Dinas Kesehatan Kota Bandung Deborah Yohana Rattu membenarkan pihaknya sudah mendapat penjelasan. Namun, pihaknya tengah menyelidiki kekurangan obat tersebut.
“Saya sudah mendapat penjelasannya, masih kami selidiki karena ini baru berita yang dimuat, saya minta Medica Antapani memberikan penjelasannya,” kata Deborah, Selasa saat dikonfirmasi Teropongmedia (3/9/2024).
Berdasarkan informasi yang diterima pihaknya, Medica Antapani sudah mengeluarkan perintah sejak awal Agustus lalu. Namun obat ini belum tersedia.
“Karena kalau pemesanan obat lewat sistem, untuk obat cedera kepala ringan (CKR) saya masih menunggu penjelasan dari Medica Antapani dari Dinkes,” ujarnya.
Jadi saya berharap besok ada jawaban apa masalahnya karena pasien juga harus minum dosis penuh, tambahnya.
(Aak)
Berita Terkini